WEBSITE ERA ISLAM

Go to Template. Click on Edit HTML. Replace these texts with your own description. This template was designed by NewBloggerThemes.com ...

WEBSITE ERA SUNNAH

Go to Template. Click on Edit HTML. Replace these texts with your own description. This template was designed by NewBloggerThemes.com ...

WEBSITE ERA HIJRAH

Go to Template. Click on Edit HTML. Replace these texts with your own description. This template was designed by NewBloggerThemes.com ...

WEBSITE ERA DAKWAH

Go to Template. Click on Edit HTML. Replace these texts with your own description. This template was designed by NewBloggerThemes.com ...

Selasa, 01 Mei 2018



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang paling lembut kepada manusia. Beliau sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi dan latar belakang mereka. Bagaimana tidak, beliaulah yang telah memberitakan:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menyukai sifat lemah-lembut dalam seluruh perkara.[1]
Kelembutan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat dilihat dari ucapan dan perbuatan beliau, serta mengambil jalan yang paling mudah. Manusia pada prinsipnya cenderung menyukai sifat lembut, perkataan yang halus dan sikap yang ramah. Dan sebaliknya, antipati terhadap sikap yang keras dan kasar. Bukti kelembutan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang yang belum mengetahui hukum dapat dilihat pada hadits berikut ini.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata:
Ketika kami berada di dalam masjid bersama Rasulullah, tiba-tiba datang seorang badui. Lalu, ia (badui itu, Red.) kencing di dalam masjid. Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru: “Tahan! Tahan!” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Janganlah kalian ganggu. Biarkanlah dia,” maka para sahabat membiarkannya sampai ia selesai kencing. Selanjutnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya seraya berkata:
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ الهِT عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak pantas dikenai sesuatu dari air kencing dan kotoran. Ia (dibangun) untuk dzikrullah, sholat dan membaca al Qur`an . . . [2]
Hadits mulia ini memuat penjelasan perihal kelembutan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kecakapan cara pembinaan beliau terhadap orang badui tersebut yang belum mengetahui banyak tentang agama (masih jahil).
Dalam riwayat Ahmad dan Ibnu Majah, terdapat keterangan, bahwa saking terkesannya, setelah paham agama, orang badui itu pun berkata: “Ayah dan ibuku jadi tebusan bagi beliau. Beliau tidak mencela, tidak mencaci-maki dan tidak memukul(ku)”.
Al Hafizh Ibnu Hajar menyimpulkan, dalam hadits ini (hadits Anas) terdapat pelajaran agar bersikap lembut terhadap orang jahil (yang belum mengetahui hukum agama) dan mengajarinya hal-hal yang harus diketahui tanpa disertai celaan terhadapnya, jika kesalahannya tidak muncul karena keras kepala. Apalagi, bila ia termasuk orang yang masih perlu pendekatan persuasif. Dalam hadits ini pula, termuat cermin kasih sayang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluhuran akhlak beliau. [3]
(Kutipan dari al Mu’allimul Awwal, karya Muhammad Fuad as-Salhub, Darul Qasim, Riyadh, Cetakan I, Tahun 1417H0)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
______
Footnote
[1]. HR al Bukhari dan Muslim.
[2]. HR al Bukhari dan Muslim. Lafazh ini milik Muslim.
[3]. Fat-hul Bari (1/388).


Sumber: https://almanhaj.or.id/1431-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-lemah-lembut-terhadap-orang-jahil.html


Oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Firman Allah Ta’ala:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang menjadi teladan, senantiasa patuh kepada Allah dan menghadapkan diri ; dan sama sekali ia tidak pernah termasuk orang-orang yang berbuat syirik . [An-Nahl/16: 120]
وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ
Dan orang-orang yang mereka itu tidak berbuat syirik kepada Tuhan mereka. [Al- Mu’minun/23: 59]
Hushain bin ‘Abdurrahman menuturkan:
Suatu ketika aku berada di sisi Sa’id bin Jubair, lalu ia bertanya: Siapakah diantara kalian melihat bintang yang jatuh semalam? Aku pun menjawab: Aku. Kemudian kataku: Ketahuilah, sesungguhnya aku ketika itu tidak dalam keadaan shalat, tetapi terkena sengatan kalajengking. Ia bertanya: Lalu apa yang kamu perbuat? Jawabku: Aku meminta ruqyah [1]. Ia bertanya lagi: Apakah yang mendorong dirimu untuk melakukan hal itu? Jawabku: Yaitu : Sebuah hadits yang dituturkan oleh Asy-Sya’bi kepada kami. Ia bertanya lagi: Dan apakah hadits yang dituturkan kepadamu itu? Kataku: Dia menuturkan kepada kami hadits dari Buraidah ibn Al-Hushaib:
لارقية إلا من عين أو حمة
Tidak dibenarkan melakukan ruqyah kecuali karena ‘ain [2] atau terkena sengatan
Sa’id pun berkata: Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan apa yang telah didengarnya; tetapi Ibnu ‘Abbas menuturkan kepada kami hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
حدثنا ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال ” عرضت علي الأمم فرأيت النبي ومعه الرهط والنبي ومعه الرجل والرجلان والنبي وليس معه أحد إذ رفع لي سواد عظيم فظننت أنهم أمتي فقيل لي هذا موسى وقومه فنظرت فإذا سواد عظيم فقيل لي هذه أمتك ومعهم سبعون ألفاً يدخلون الجنة بغير حسان ولا عذاب ثم نهض فدخل منزله فخاض الناس في أولئك فقال بعضهم فلعلهم الذين صحبوا رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال بعضهم فلعلهم الذين ولدوا في الإسلام فلم يشركوا بالله شيئاً وذكروا أشياء فخرج عليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخبروه فقال هم الذي لا يسترقون ولا يكتوون ولا يتطيرون وعلى ربهم يتوكلون فقام عكاشة بن محصن فقال ادع الله أن يجعلني منهم قال أنت منهم ثم قام رجل آخر فقال ادع الله أن يجعلني منهم فقال سبقك بها عكاشة
Telah dipertunjukkan kepadaku umat-umat. Aku melihat seorang nabi, bersamanya beberapa orang; dan seorang nabi, bersamanya satu dan dua orang; serta seorang nabi, dan tak seorangpun bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku suatu jumlah yang banyak; akupun mengira bahwa mereka itu adalah umatku, tetapi dikatakan kepadaku: Ini adalah Musa bersama kaumnya. Lalu tiba-tiba aku melihat lagi suatu jumlah besar pula, maka dikatakan kepadaku: ini adalah umatmu, dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang mereka itu masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Kemudian bangkitlah beliau dan segera memasuki rumahnya. Maka orang-orangpun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu. Ada diantara mereka yang berkata: Mungkin saja mereka itu yang menjadi sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada lagi yang berkata: Mungkin saja mereka itu orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, sehingga tidak pernah mereka berbuat syirik sedikitpun kepada Allah. Dan mereka menyebutkan lagi beberapa perkara. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda: “Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan, tidak melakukan tathayyur [3] dan mereka pun bertawakkal kepada Tuhan mereka”. Lalu berdirilah ‘Ukasyah bin Mihshan dan berkata: Mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka. Beliau menjawab: kamu termasuk golongan mereka. Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata: Mohonkanlah kepada Allah agar aku juga termasuk golongan mereka. Beliau menjawab: Kamu sudah kedahuluan ‘Ukasyah. [4]
Kandungan Bab ini:
• Mengetahui adanya tingkatan-tingkatan manusia dalam tauhid.
• Pengertian mengamalkan tauhid dengan semurni-murninya.
• Sanjungan Allah Ta’ala kepada Nabi Ibrahim, karena sama sekali tidak pernah termasuk orang-orang yang berbuat syirik kepada Allah.
• Sanjungan Allah kepada para tokoh wali , karena bersihnya diri mereka dari perbuatan syirik.
• Tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan dan tidak melakukan tathayyur adalah termasuk pengamalan tauhid yang murni.
• Bahwa tawakkal kepada Allah Ta’ala adalah sifat yang mendasari sikap tersebut.
• Dalamnya ilmu para sahabat karena mereka mengetahui bahwa orang-orang yang dinyatakan dalam hadits tersebut tidak dapat mencapai derajat dan kedudukan yang demikian itu kecuali dengan amal.
• Gairah dan semangat para sahabat untuk berlomba-lomba dalam mengerjakan amal kebaikan.
• Keistimewaan umat Islam, dengan kuantitas dan kualitas.
• Keutamaan pengikut Nabi Musa.
• Umat-umat telah ditampakkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Setiap umat dikumpulkan sendiri-sendiri bersama nabinya.
• Bahwa sedikit orang yang mengikuti seruan para nabi.
• Nabi yang tidak mempunyai pengikut, datang sendirian pada hari Kiamat.
• Buah dari pengetahuan ini adalah: tidak silau dengan jumlah yang banyak dan tidak merasa kecil hati dengan jumlah yang sedikit.
• Diperbolehkan melakukan ruqyah karena terkena ‘ain atau sengatan.
• Dalamnya pengertian kaum Salaf, dapat dipahami dari kata-kata Sa’id bin Jubair: Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan apa yang telah didengarnya; tetapi…dst. Dengan demikian jelaslah bahwa hadits pertama tidak bertentangan dengan hadits kedua.
• Kemuliaan sifat kaum Salaf karena ketulusan hati mereka, dan mereka tidak memuji seseorang dengan pujian yang dibuat-buat.
• Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Kamu termasuk golongan mereka , adalah salah satu dari tanda-tanda kenabian beliau.
• Keutamaan ‘Ukasyah.
• Penggunaan kata sindiran. [5]
• Keelokan budi pekerti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[Disalin dari buku: “Kitab At-Tauhid Al-Ladzi Huwa Haqqullah Alal-Abid” Edisi Indonesia Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad At-Tamimi. Penerbit: Kantor Kerjasama Da’wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418H]
_______
Footnote
[1]. Ruqyah, maksudnya disini ialah penyembuhan dengan pembacaan ayat-ayat Al Qur’an atau do’a-do’a.
[2]. Ain ialah pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang melalui matanya; disebut juga kena mata.
[3]. Tathayyur ialah merasa pesimis, merasa bernasib sial, atau beramal nasib buruk, karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja.
[4]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim
[5]. Karena beliau bersabda kepada seorang yang lain: Kamu sudah kedahuluan ‘Ukasyah dan tidak bersabda kepadanya: Kamu tidak pantas untuk dimasukkan ke dalam golongan mereka.


Sumber: https://almanhaj.or.id/21-mengamalkan-tauhid-dengan-semurni-murninya-pasti-masuk-surga-tanpa-hisab.html

Peristiwa Hilfu al Fudhul

Posted by NAJIB MABRURI On 01.19


Peristiwa in terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun kedua puluh sebelum kenabian,[1] tepatnya empat bulan[2] setelah selesai dari perang Fijaar (Harbu al Fijaar) antara suku Quraisy dan kabilah-kabilah yang bersekutu dengan bani Kinanah menghadapi serangan Bani Qais ‘Ailaan [3], hingga kemudian terjadi kesepakatan atau perjanjian yang dikenal dengan Hilfu al Fudhul atau Hilfu al Muthayyabin.
Keabsahan peristiwa ini dan keikutsertaan Rasulullah disampaikan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah menjadi nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya dari sahabat Abdurrahman bin ‘Auf, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ شَهِدْتُ حِلْفَ الْمُطَيَّبِينَ مَعَ عُمُومَتِي وَأَنَا غُلَامٌ فَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِي حُمْرَ النَّعَمِ وَأَنِّي أَنْكُثُهُ
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku pernah menyaksikan Hilfa al Muthoyyabin bersama para pamanku sewaktu aku masih kecil. Aku tidak ingin membatalkannya dengan mendapatkan onta merah.”.[4]
Dalam riwayat al Baihaqi disebutkan :
مَا شَهِدْتُ حِلْفًا لَقُرَيْش إِلاَّ حِلْفَ الْمُطَيَّبِينَ وَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِي حُمْرَ النَّعَمِ وَأَنِّي كُنْتُ نَقَضْتُهُ
Aku tidak pernah menyaksikan perjanjian kesepakatan orang Quraisy, kecuali Hilf al Muthayyabin. Aku tidak ingin membatalkannya dengan mendapatkan onta merah.[5]
Dalam riwayat al Humaidi disebutkan :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَقَدْ شَهِدْتُ فِيْ دَارِ عَبْدِ اللهِ بْنِ جُدْعَان حِلْفًا لَوْ دُعِيْتُ بِهِ فِيْ الإِسْلاَمِ لأَجَبْتُ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jad’aan satu perjanjian; seandainya aku diajak melakukannya dalam Islam, tentu aku kabulkan”.[6]
Dengan demikian peristiwa ini benar-benar terjadi, karena riwayat yang menjelaskannya cukup kuat. Namun perincian peristiwanya, tidak diriwayatkan dengan jalur yang shahih.
Kesepakatan dan perjanjian ini dipelopori oleh az Zubeir bin Abdil Muthalib, dan terjadi antara Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani Asad bin Abdul ‘Uza, Bani Zuhrah dan Bani Taim di rumah Abdullah bin Jad’aan at Taimi. Mereka bersepakat, apabila mendapati orang yang terzhalimi dari penduduk Makkah atau luar Makkah, mereka akan menolongnya dan melawan orang yang berbuat zhalim, sampai mengembalikan hak orang yang dizhalimi tersebut Mereka saling menolong dan mengembalikan hak orang yang dizhalimi dari orang yang menzhalimi.[7]
Kisah terperinci yang menjadi penyebab terselenggaranya sperjanjian ini diriwayatkan Ibnu Katsir tanpa sanad sebagai berikut :
Dikisahkan, sebab munculnya perjanjian ini ialah, seseorang dari daerah Zabid datang ke Makkah membawa barang dagangannya, lalu dibeli al ‘Ash bin Waa’il as Sahmi, tokoh terkemuka Quraisy. Tetapi al ‘Ash tidak membayarnya. Orang tersebut meminta bantuan Ahlaaf, yaitu Bani ‘Abdi Daar, Makhzum, Jum’ah dan Sahm. Namun mereka menolak membantu agar mendesak al Ash dan justru malah menghardiknya. Ketika orang Zabid ini melihat gelagak buruk, maka ia naik ke Jabal Abu Qubais ketika matahari terbit, dan waktu itu bangsa Quraisy sedang berkumpul di sekitar Ka’bah. Lalu ia berseru sekuat-kuatnya :
Wahai anak keturunan Fihr, ada barang dagangan orang yang terzhalimi
Di lembah Makkah, dari orang yang datang dari jauh dan akan pergi
Dalam keadaan berihram, kusut masai, belum selesai melaksanakan umrah
Wahai para tokoh yang berada di antara Hajar Aswad dengan Hajar Aswad
Sungguh tanah suci hanya pantas untuk orang yang sempurna akhlaknya
Dan tanah suci tidak pantas dihuni oleh orang yang jahat dan pengkhianat.
Mendengar seruan tersebut, bangkitlah az Zubeir bin Abdil Muthalib dengan berkata : “Apakah orang seperti ini dibiarkan?” Kemudian kaum Quraisy, Bani Zuhrah dan Taimi berkumpul di rumah Abdullah bin Jad’aan. Mereka berkumpul dan membuat perjanjian kesepakatan pada bulan Dzulqa’dah untuk bersatu membantu orang yang dizhalimi melawan orang yang zhalim, sampai ia mengembalikan haknya. Maka kaum Quraisy menamakan perjanjian ini Hilfu al Fudhul. Kemudian mereka berangkat menemui al ‘Ash bin Waa’il, lalu meminta barang dagangan orang Zabidi tersebut, dan al ‘Ash pun kemudian menyerahkannya kepada orang tersebut.
Kisah ini pun diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad secara ringkas dari jalan periwayatan al Waqidi [8] dan al Waqidi seorang matrukul hadits (jelas-jelas lemahnya), sehingga riwayat ini lemah.
Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini :
Pertama : Apabila penduduk jahiliyah menolak kezhaliman dengan fitrah mereka, seharusnya kaum Muslimin lebih pantas lagi menolaknya, tapi dengan landasan aqidah. Sebab Islam benar-benar memerintahkan umatnya untuk tidak berbuat zhalim. Hal ini juga selaras dengan nilai-nilai fitrah. Sehingga bukan hal yang aneh bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan arti penting perjanjian tersebut.[9]
Kedua : Kerusakan yang tersebar dalam tatanan sosial atau masyarakat, tidak berarti hilangnya seluruh kebaikan dan keluhuran budi pekerti di lingkungan tersebut. Inilah yang ditunjukkan oleh peristiwa Hilfu al Fudhul. Penjelasannya, kota Makkah adalah masyarakat jahiliyah yang dipenuhi oleh penyembahan berhala (paganisme), kezhaliman, zina, riba dan perkara lainnya yang merupakan sendi-sendi, adat dan moral masyarakat jahiliyah. Hanya saja, dalam komunitas yang seperti itu, masih ada orang-orang yang menjunjung tinggi arti kehormatan dan harga diri, membenci kezhaliman dan tidak mendiamkan seorang pun untuk berbuat dzalim.[10] Demikianlah, hakikat ini telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.[11]
Ketiga. Peran az Zubeir dalam kisah ini menunjukkan tingkat kehormatan tokoh keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keutamaan mereka atas lainnya dalam peristiwa ini. Maka cukuplah kehormatan dan kemulian bagi mereka dengan munculnya seorang utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalangan mereka.[12]
Keempat. Kisah ini mengindikasikan bahwa Islam membenarkan upaya pembelaan bagi orang yang terzhalimi dan menghalangi orang berbuat zhalim. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits :
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
“Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim dan yang dizhalimi,” Mereka bertanya,”Wahai, Rasulullah. Kami sudah menolong orang yang dizhalimi, lalu bagaimana kita menolong yang berbuat zhalim?” Beliau menjawab, “Menghalanginya (dari berbuat zhalim).”
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat ar Rahiiqul Makhtum, Shafiyurrahman al Mubarakfuri, Cet. ke-6, Th. 1418 H, Rabithah al Alam al Islami, Makkah, hlm. 68 dan as Sirah an Nabawiyah Fu Dhau’i al Qur`an was Sunnah, Muhammad Abu Syuhbah, Cet. Ke-6, Th. 1423H, Dar al ‘Ashimah, Beirut (1/213).
[2]. Lihat as Sirah an Nabawiyah Fu Dhau’i al Qur`an was Sunnah (1/213).
[3]. Tentang keikutsertaan Rasulullah dalam perang ini, telah diriwayatkan ahli sirah dalam banyak kitab. Namun semua riwayat yang menjelaskan keikutsertaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang tersebut riwayatnya lemah. Peristiwa perang ini sangat mungkin terjadi, karena masyhur di kalangan ahli sirah dan ahli sejarah. Akan tetapi, lemahnya riwayat keikutsertaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang tersebut, membuat kami tidak memuat kisah perang tersebut.
[4]. Hadits ini dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau terhadap Musnad Ahmad bin Hanbal dan Syaikh al Albani dalam komentar beliau t terhadap Fiqhus Sirah, dan lihat juga Silsilah Ahadits Shahihah (4/524).
[5]. Dalaail Nubuwah (2/37-38) dan al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir (2/315). Kami nukilkan dari kitab as Sirah an Nabawiyah fi al Mashadir al Ashliyah, hlm. 130 dan penulisnya menyatakan : “Isnadnya kuat”.
[6]. Dinukil Ibnu Katsir dalam al Bidayah (2/315), dan sanadnya shahih. Lihat kitab as Sirah an Nabawiyah fi al Mashadir al Ashliyah, hlm. 130.
[7]. Lihat ar Rahiiqul Makhtum, hlm 68, as Sirah an Nabawiyah fi al Mashadir al Ashliyah, hlm. 131, as Sirah an Nabawiyah Fi Dhau`i al Qur`an was Sunnah (1/213) dan as Sirah an Nabawiyah, Muhammad Abdul Qaadir Abu Faaris, Cet. Pertama, Th. 1418 H, Dar al Furqaan, Yordania, hlm. 119
[8]. As Sirah an Nabawiyah fi al Mashadir al Ashliyah, hlm. 131.
[9]. Ibid, hlm. 132.
[10]. As Sirah an Nabawiyah, Muhammad Abdul Qadir Abu Faaris, hlm. 119.
[12]. Dihasankan al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, Syaikh al Albani (1/112 no. 45).
[13]. As Sirah an Nabawiyah fi al Mashadir al Ashliyah, hlm. 132.


Sumber: https://almanhaj.or.id/444-peristiwa-hilfu-al-fudhul.html

Pokok-Pokok Manhaj Salaf

Posted by NAJIB MABRURI On 01.18


Oleh
Khalid bin Abdur Rahman al-‘Ik
Bagian pertama dari enam tulisan [1/6]
PENDAHULUAN.
Sesuatu yang pasti dan tidak mengandung keraguan sedikitpun ialah bahwasanya manhaj salaf adalah manhaj yang bisa diterima oleh setiap generasi dari masa ke masa. Begitulah kenyataannya di sepanjang sejarah dan kehidupan. Hal itu disebabkan keistimewaan manhaj salaf yang senantiasa secara benar dan mengakar dalam menggali masalah, akuratnya penggunaan dalil (istidlal) berdasarkan petunjuk-petunjuk Qur’aniyah serta kemampuannya menggugah kesadaran, dengan mudah bisa dicapai hingga peringkat ilmu serta keyakinan tertinggi, disamping adanya jaminan keselamatan untuk tidak terjatuh pada kesia-sian, khayalan, atau pada ruwetnya tali temali salah kaprah serta benang-kusutnya ilmu kalam, filsafat dan analogi-analogi logika.
Sesungguhnya manhaj salaf adalah manhaj yang selaras dengan fitrah manusia, sebab ia merupakan manhaj Qur’ani nabawi, Manhaj yang bukan hasil kreasi manusia. Oleh karenanya manhaj ini senantiasa mampu menarik kembali individu-individu umat Islam yang telah lari meninggalkan petunjuk agamanya dalam waktu relatif singkat dan dengan usaha sederhana, apabila dalam hal ini tidak ada orang-orang yang sengaja menghambat dan melakukan perusakan supaya manhaj yang agung ini tidak sampai kepada anggota-anggota masyarakat dan kelompok-kelomok umat.
Untuk itulah kita dapati manhaj salaf selalu cocok dengan zaman dan senantiasa up to date bagi setiap generasi ; itulah “jalannya kaum salaf radhiayallahu ‘alaihim”. Inilah manhaj yang pernah di tempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Di atas manhaj inilah para imam mujtahid, para imam hafizh dan para imam ahli hadits terbentuk. Dengan manhaj inipula orang-orang (dahulu) diseru untuk kembali kepada dienullah, hingga dengan segera mereka menyambut dan menerimanya serta masuk kedalam dienul Islam secara berbondong-bondong.
Seperti halnya manhaj ini dahulu telah mampu menciptakan “umat agung” yang menjadi khaira ummatin ukhrijat lin-naas, sebaik-baik umat yang ditampilkan untuk manusia, maka iapun akan senantiasa mampu berbuat demikian dalam setiap masa. Buktinya .? itu bisa terwujud setiap saat, jika penghambat-penghambat yang sengaja diciptakan untuk mengacaukan kehidupan manusia hingga kehilangan fitrah lurusnya dihilangkan.
Tentu tidak diragukan lagi, bahwa ajakan untuk mengikuti jejak as-salafu ash-shalih harus menjadi ajakan (dakwah) yang terus menerus dilakukan. Dakwah ini secara pasti akan tetap selaras dengan kehidupan modern, sebab merupakan ajakan yang hendak mengikat seorang mukmin dengan sumber-sumber yang murni dan melepaskan diri dari berbagai belengu taklid yang membuat fanatik terhadap ra’yu (pendapat), kemudian mengembalikannya kepada Kitabullah serta sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Katakanlah : ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul ; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”. [An-Nuur : 54].
Jadi dakwah salafiyah selamanya bisa selaras bagi pelaku tiap-tiap zaman, karena dakwah salafiyah datang ketengah manusia dengan membawa sumber-sumber minuman rohani yang paling lezat dan murni. Dakwah salafiyah datang dengan membawa sesuatu yang bisa memenuhi kekosongan jiwa dan bisa menerangi relung-relung hati yang paling dalam. Maka dakwah salafiyah ini tidak akan membiarkan jiwa terkuasai oleh ambisi-ambisi hawa nafsu melainkan pasti dibersihkannya, dan tidak akan membiarkan hati tertimpa oleh lintasan kebimbangan sedikitpun kecuali pasti disucikannya, sebab dakwah salafiyah ini tegak berdasarkan i’tisham (berpegang teguh) pada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai dengan apa yang dipahami oleh as-salafu-as-shalih.
Tiap pendapat orang, bisa diambil atau bisa ditolak kecuali apa yang telah dibawakan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka apa yang dibawa oleh beliau harus diambil dan tidak boleh ditolak, sebab itu ma’shum berasal dari Allah Ta’ala.
“Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurutkan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang di wahyukan (kepadanya) “. [An-Najm : 3-4].
Dengan manhaj yang lurus ini, kaum mukminin akan terbebas dari tunggangan-tunggangan hawa nafsu yang telah bertumpuk-tumpuk menunggangi generasi demi generasi.
Manhaj salaf telah secara jelas memasang petunjuk bagi setiap dakwah yang betul-betul ikhlas bertujuan memperbaharui perkara umat yang telah menjadi amburadul, hingga dengannya bisa betul-betul mampu memperbaharui perkara agama ini dalam kehidupannya dan mampu mengencangkan ikatan iman umat berdasarkan dua sumber :”Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya” ditambah dengan kaidah yang sama sekali tidak bisa dikesampingkan, yaitu ” Sesuai dengan apa yang dipahami oleh as-salafu ash-shalih”.
Setiap dakwah yang dengan dalih apapun berusaha memperlonggar persoalan “ikatan temali yang kokoh” di atas, berarti ia hanyalah dakwah yang terwarnai oleh syubhat-syubhat kesesatan dan ternodai oleh penyimpangan.
Sesungguhnya tauhidul-ibadah yang murni betul-betul untuk Allah Ta’ala, tergantung pada rujukannya kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala befirman :
“Artinya : Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”. [At-Taghaabun : 12].
Dalam ayat lain Allah berfirman :
“Artinya : Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan”. [An-Nisaa’ : 65].
Pada ayat di atas Allah Ta’ala bersumpah dengan Diri-Nya yang Maha Suci bahwasanya tidaklah seseorang beriman sebelum ia menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim dalam semua urusan.
Apa saja yang diputuskan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti merupakan kebenaran yang wajib untuk dipatuhi secara lahir maupun batin.
Oleh sebab itulah Allah memerintahkan untuk menyerah (taslim) pada putusan Rasul pada firman Allah berikutnya :
“Artinya : Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu (Muhammad) berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. [An-Nisaa’ : 65].
Dengan demikian, tidak boleh ada sikap enggan, sikap menolak atau sikap menantang terhadap segala yang disunnahkan atau diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala memperingatkan dalam firman-Nya.
“Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya”. [Al-Anfaal : 13].
Lalu, apa lagi yang lebih dikehendaki oleh orang-orang modern dewasa ini dibandingkan dengan kemerdekaan aqidah, kemerdekaan jiwa, kemerdekaan individu dan kemerdekaan jama’i (bersama-sama) yang ditumbuhkan oleh sikap mentauhidkan Allah, baik secara rububiyah maupun uluhiyah, kemerdekaan yang ditimbulkan oleh tauhidul-hidayah dan manunggalnya ketaatan serta kepatuhan hanya kepada perintah Pencipta Alam dan perintah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam ?.
Dengan tauhid yang shahih inilah, kaum mukminin akan terbebaskan (merdeka) dari sikap mengekor terhadap setiap orang yang mempunyai kekuatan, dari setiap belengu hawa nafsu dan dari setiap kesempitan taklid yang memenjarakan akal dan mempersempit cara berpikir.
Karena keistimewaan-keistimewaan langka inilah, maka manhaj salaf akan senantiasa selaras dengan tuntutan segala zaman dan akan bisa diterima oleh setiap generasi.
KAIDAH SERTA POKOK-POKOK MANHAJ SALAF.
Kaidah-kaidah berikut ini menggambarkan tentang prinsip-prinsip manhaj talaqi (sistem mempelajari, mengkaji dan memahami) aqidah islamiyah, dan tentang pokok-pokok bantahan terhadap aqidah selain Islam melalui dalil-dalil Al-Qur’an serta petunjuk-petunjuk nabawi.
Ketika firqah-firqah mulai bermunculan di tengah barisan kaum muslimin dengan segala pemikirannya yang berbeda-beda dan saling berlawanan, maka masing-masing pelakunya berupaya melakukan pengadaan dalil-dalil serta argumentasi-argumentasi, -yang sebenarnya hanya membebani kebanyakan mereka saja- untuk mempertahankan teori-teori filsafat hasil temuan mereka masing-masing yang mereka yakini kebenarannya. Diantara sejumlah dalil yang mereka kemukakan ialah : mengaku-ngaku sebagai pengikut as-salafu ash-shalih.
Oleh karena itu seyogyanyalah diadakan penjelasan mengenai kaidah-kaidah manhaj salaf, supaya dibedakan antara orang-orang yang sekedar mengaku-ngaku salafi dengan orang-orang yang sebenar-benarnya pengikut as-salafu ash-shalih.
[Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 13/Th II/1416H – 1995M]


Sumber: https://almanhaj.or.id/45-pokok-pokok-manhaj-salaf.html
  • Kunjungi Link Kami :

    Assalamu'alaikum, Untuk Info, Kritik dan Saran, Kontak Admin : ERA KAJIAN
    Read More..
    close
    cbox
  • Pasang Iklan Gratis

  • Kom. Pecinta Sunnah

    Kom. Pecinta Sunnah
    TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM TK AL UMM